Senin, 27 Oktober 2014
On 22.16 by Unknown 1 comment
BAB I
PEMBAHASAN
A.
LATAR
BELAKANG
Ketika filsafat
Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang
disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi,
Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang
tidak bisa dihindarkan, karena dari merekalah kita dapat mengenal
filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam
dikembangkan.
Dalam makalah
ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikiranya
sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran islam dan
filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus
seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran
Al-Ghazali begitu beragam dan banyak, mulai dari pikiran beliau
dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal
ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan
dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof
Muslim lainnya.
B.
RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana
Biografi dan Apa Saja Karya Al-Ghazali?
B. Karya-karya Al-Ghozali?
C. Bagaimana
Pemikiran Filsafat Al-Ghazali?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Al-Ghozali
Nama
lengkap Imam Ghozali adalah Abu Hamid ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Ghozali,
digelar Hujjah Al-Islam. Ia lahir di Thus, bagian dari Kota Khurasan, Iran pada
450 H (1056 M). ayahnya tergolong yang hidup dengan sederhana sebagai pemintal
benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti telihat pada
simpatiknya kepada Ulama’, dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu
memberi nasihat kepada umat.[1].
Al-Ghozali belajar fikih dan ilmu-ilmu dasar
yang lain dari Ahmad al-Radzkani di Thus, selama tiga tahun ditempat kelahirnya
ini ia mengkaji ulang pelajaran di jurjan sambil belajar tasawuf kepada Yusuf
al-Nassaj (w.487).
Untuk
memenuhi kebutuhan intlektualnya ia kemudian hijrah ke Naisabur dan belajar
dengan Imam al-Juwaini. Dengan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa,
memeberi gelar bahrum mughriq (laut yang menenggelamkan)[2]. Dari
Al-Juwaini ia memperoleh ilmu kalam dan mantiq.[3]
Setelah
wafatnya al-Juwaini, al-Ghozali meninggalkan Naisabur menuju Negara Askar untuk
berjumpa dengan Nizham al-Mulk.. Pada tahun 458 H (1091 M) al-Ghozali diangkat
menjadi guru besar di madrasah Nizhamiyah, Baghdad kurang lebih empat tahun. Selama
mengajar di madrasah ini denga tekunnya al-Ghozali mendalami filsafat secara
otodidak,Penguasaannya terhadap filsafat terbukti dakam karyanya, seperti Al-Maqashid
al-Falsafah dan Tahafut al-Falasifah.[4]
Perkembangan
intlektualitas al-Ghozali sebenarnya telah mulai kelihatan sejak ia sebagia
seorang pelajar. Pada waktu itu, ia selalu menunjukkan sikap keraguannya
terhadap apa-apa yang dipelajarinya. Hal tersebtu hingga ia mengajar dibaghdad.[5]
Pada tahun 488 H (1095) al-Ghozali dilanda keragu-raguan, sekeptis terhadap
ilmu-ilmu yang dipelajarinya (Hukum, Teologi, dan Filsafat), sehingga dia
terkena penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, Al-Ghozali
tidak dapat menjalankan tugas
sebagai guru besar di madrasah Nizamiyah, Akhirnya ia meninggalkan Baghdad
menuju kota Damaskus, selama kira-kira dua tahun al-Ghozali di kota ini, ia
melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahdah, kemudian ia pindah ke bait al-Maqdis,
palistina untuk melaksanakan ibadah serupa, setelah itu tergerak hatinya untuk
menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam Rasulullah[6].
Sepulang dari tanah suci , Al-Ghozali mengunjungi kota Kelahirnnya Thus, disini
pun ia tetap ber-khalwat. Keadaan skeptis Al-Ghozali berlangsung selama 10
Tahun. Dalam periode inilah ia menulis karya terbeseranya Ihya’ ‘Ulum al-Din
(The Revival of the religious Sciences--menghidupkan kembali ilmu-ilmu
Agama).
Karena
desakan penguasa Slajuk. Al-Ghozali mengajar kembali pada madrasah Nizhamiyah,
tetapi hanya berlangsung selama dua tahun, kemudian kembali ke Thus untuk mendirikan madrasah bagi para Fuqaha, dan sebuah zawiyah
atau khanaqah untuk para mutasawwifin. Di kota inilah ia wafat pada 505 H.
B.
Karya Al-Ghozali
Karya imam
Ghozali diperkirakan mencapai 300 Buah, dianataranya :
a.
Maqsyit al-Falsafi (tujuan-Tujuan Para Filusuf), sebagai
karangannya yang pertama berisi masalah-masalah filsafat
b.
Tahuful al-Falasifah (Kekacauan Pikiran Para Filsuf), buku ini
dikarang sewaktu ia berada di Baghdad tatkala Jiwanya dilanda keragu-raguan.
c.
Mi’yar al-Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu)
d.
Ihya ‘ulum al-Din (menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama), buku ini
merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangannya selama berapa tahun dalam
keadaan berpindah-pindah, yang berisi panduan antara Fikih, tasawuf, dan
Filsafah.
e.
Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari kesesatan). Buku ini
merupakn sejarah perkembangan alam pikiran al-Ghazali sendiri.
f.
Al-Ma’arif al-Aqliah (pengatuhuan yang rasional)
g.
Miskat al-Anwar
h.
Minhaj al-‘abidin (Jalan Mengabdikan Diri kepada Tuhan)
i.
Al-Iqtishad fi a-Itiqad (Moderasi dalam Akidah)
C.
Filsafat Al-Ghazali
1.
Epistimologi
Pada
mulanya al-Ghazali beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat
ditangkap oleh panca indra. Tetapi, kemudian ternyata baginya bahwa panca indra
itu berdusta. Karena tidak percaya kepada panca indara, al-Ghozali kemudian
meletakkan kepercayaanna kepada akal. Tetapi, akal juga tak dapat dipercaya
sewaktu bermimpi.
Dengan
akal saja takafu’ al-adillah (antinomy) bisa terjadi. Seperti disebut diatas,
yang dicari al-Ghozali ilm al-yaqini yang tidak mengali pertentangan dengan
dirinya.
Tetapi
ketika membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal, ia
hanya dpaat menggunakan kesimpulan hipotesis (fardhi) saja, akhirnya al-Ghazali
mengalami puncak kesangsian, karena dia tidak menemukan sumber yang bisa
dipercaya.
Tetapi
dua bulan kemudian , dengan cara tiba-tiba Tuhan memberikan nur yang disebut
oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifah kedalam hatinya. Dengan demikian, bagi
al-Ghazali bahwa al-dzawq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada
akal untuk menagkap pengetahuan yang betul-betul diuakini kebenarannya. Suber
pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi
bentuk Wahyu, dan pada manusia biasa berbentuk ilham.
Menurut Al-Ghazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu
matematika, logika, fisika, politik, dan metafisika. Hubungan lapangan-lapangan
filsafat tersebut dengan agama tidak sama, ada yang tidak berlawanan, tetapi
ada pila yang bertentangan. Al-Ghozali berpendapat bahwa agama tidak melarang
ataupun memerintahkan mempelajari matematika, tetapi ilmu ini menimbulkan dua
kebertan, maka boleh jadi ada orang yang mengira bahwa semua lapangan filsafat
demikian pula, keadaannya, termasuk dalam bidang ketuhanan. Kedua, sikap yang
dari pemeluk Islam yang bodoh, yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama harus
mengikari semua ilmu yang dari filsuf. Logika menurut al-Ghazali, juga tidak
ada sangkutan pautnya dengan agama. Logika berisi penyelidikan tentang
dalil-dalil pembuktian. Bahaya yang ditimbulkan oleh logika, karfena
syarat-syarat pembuktian bisa menimbulkan keyakinan, maka syarat-syart
pembuktian tersebut juga menjadi pendahuluan dalam persoalan ketuhanan
(metafiksika), sedangkan sebenarnya tidak demikian.
Lebih lanjut al-Ghozali membagi filsuf kepada tiga
golongan, yaitu materialis (dahriyyun), naturalis (thabi’iyyun), dan theis
(illahiyyun). Kelompok pertama terdiri dari para filusuf awal, mereka menyangka
penciptaan dan pengatur dunia. Dan yakin sudah ada dengan sendirinya sejak
dulu. Al-Ghazali menganggap mereka tidak beragama. Naturalis mereka mengakui eksistensi suatu penciptaan bijaksanaan tetapi
menyangkal kerohanian dan sofat immateriality jiwa manusia. Mereka menjelaskan
perihal jiwa sebagai suatu epifenomena jasad day akin bahwa kematian jasad
menyebabkan jiwa tak berwujud sama sekali. Kaum theis tergolong para filusuf
lebih modern dan mencakup Socrates, plato, dan Aritoteles. Meski mereka
meyerang golongan materialis dan naturalis, serta menelanjangi cacar mereka
dengan efektif sekali, al-Ghazali berpendapat, kaum theis ini masih meyimpan
sisa kekafiran dan paham bid’ah. Sebab itu dia menilai merkea maupun para
filsuf Muslim pengikutnya, sebagai kaum kafir. Menurut pendapatnya, diantara
pengikut mereka al-Farabi dan Ibnu Sina.
2.
Metafisika
Lain
halnya dengan lapangan metafisika (ketuhanan), al-Ghazali memberikan reaksi
keras terhadap Neo-Platonisme Islam, menurutnya banyak sekali terdapat
kesalahan filusuf, mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan
matematika. Untuk itu al-Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh
Neo-Platonisme Muslim (Al-farabi dan Ibn Sina). Kekeliruan filsuf tersebut ada
sebanyak 20 persoalan (16 dalam bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika).
Dalam 17 soal mereka harus dinyatakan sebafai ahl al-bida’, sedangkan
dalam tiga soal lainnya, mereka harus dinyatakan kafir, karena tdalam tiga soal
tersebut berlwanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimin.[7]
Tiga
persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah :
1.
Alam Kekal (Qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal;
2.
Tuhan tidak menghetahui perincian atau hal-hal yang particular
(juziyyat) yang terjadi di alam;
3.
Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajsad) di
akhirat.[8]
Pendapat bahwa alam qadim dalam arti tidak bermula atau tidak
pernah tidak ada dimasa lampau, tidak dapat diterima dalam teologi Islam.
Sebab, menurut teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud dengan
pencipta sesuatu dari tiada (creation ex nihilio). Kalau alam (dalam
arti segala yang ada selain tuhan) dikatakan qadin, tidak bermula, berarti alam
bukanlah diciptakan, dan dengan demikian Tuhan bukan pencipta , sedangkan dalam
Qur’an disebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Menurut
al-Ghazali tidak ada orang islam yang menganut paham bahwa ala mini tidak
bermula, alam harus hadits (bermula). Karna itu tidak mmengherankan kalau dalam
teologi Islam, Syahadat la ilaha illallah bergeser menjadi la qadiima
illallah. Jadi paham adanya yang qadim selain dari Tuhan, bisa membawa
kepada : 1. Banyaknya yang qadim, banyak Tuhan, atau 2. Paham atheism; alam
yang qadim tidak perlu pada pencipta.
Tentang ilmu tuhan, golongan filusuf berpendirian bahwa Tuhan tidak
mngetahui hal-hal dan peristiwa-peristiwa kecil kecuali dengan cara yang umum
(kullyat, universal). Pengetahuan universal tidaklah tunduk, seperti
pengetahuan “pertilular”, kepada pembatasan-pembatasan ruang dan waktu. Karena
itu Tuhan mengetahui suatu peristiwa (katakana gerhana matahari) sebelum atau
sesudah kejadiannya, secara serentak, kerena ia mengetahui secar apriori
rangkaian sebab-sebab dari mana ia pada akhirnya akan berhenti . dikehendaki
oleh para filusuf dengan pemahman bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu secara
umum (kullyah) adalah bahwa ilmu-Nya yang juga adalah zat-Nya berisifat kekal
(qodim), tetap, an tidak berubah dengan perubahan yang terjadi pad objek-objek
di luar zat tuhan. Hal ini dimaksudkan untuk menyucikan Tuhan dari segala
sesuatu yang dapat merongrong keesaan-Nya.
Menurut Al-Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian
dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi perubahan pada tambahan atau
sifat tambahan tersebut, zat tuhan tetap dalam keadaannya. Selanjutnya
al-Ghazali menyangkal kalau perubahan ilmu dapat menimbulkan sutu perubahan
pada “Zat yang mengetahui”, apakah berbilangnya ilmu juga menimbulkan bilangan
pada zat Tuhan?. Di samping itu al-ghozali melandaskan pendapatnya baha Tuhan
tidak mengetahu ju’iat, jelas bertentangan dengan nash ayat-ayat al-qur’an :
وَاللهُ
يَعْلَمُ مَافِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْض وَاللهَ بِكُلِّ شَيْ ءٍ عَلِيْمٌ
(الحجرات : 16)
Artinya
: “Allah mengetahui apa yang ada
dilangit dna apa yang ada dibumi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
(Qs. Al-Hujurat : 16)
Mengenai kebangkitan di akherat, para filusuf memandangnya bersifat
rohaniah, dan terbebas dari kebendaan. Hal ini karena masalah kerohanian adalah
lebih tinggi nilainya, sebab itu tidak ada keharusan kebangkitan yang bersifat
jasmani.
Inti jawaban al-Ghozali dudasarkan atas sifat kemahakuasaan Tuhan.
Bahwa Tuhan mampu menciptakan segala sesuatu dari tiada. Karena itu, ia pun
mampu membangkitkan kembali tubuh dan tulang belulang manunsia yang telah
hancur menjadi tanah je dakan bentuk semula. Al-Ghazali juga melandaskan
pikirannya pada firman Allah SWT :
قَالَ
مَنْ يُحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ . قُلْ يُحْيٍعَا الَّذِيْ أَنْشَأَهَا
أَوْ لَ مَرَةٍ (يس :78
– 79 )
Ia berkata : “siapakah yang dapat menghidupakan tulang belulang
yang telah hancur luluh? “katakanlah : “ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang
menciptakannya kali yang pertama” (QS. Yasin : 78-79).
Para filusuf dan al-Ghozali sama-sama menyakini adanya kebangkitan
di akhirat. Perbedaan adalah bentuk dan bagaimana kebangkitan cara kebakitan
itu. Bagi filusuf secara rohaniah, sedangkan bagi al-Ghozali secara jasmani dan
rohaniah.
Disamping persoalan yang membawa kepada kekafiran diatas,
al-Ghazali juga membagi manusia kepada tiga golongan yaitu 1. Kaum awam yang
cara berfikirnya sederhana, 2. Kaum pilihan, yang akalnya tajam dan berifikir
secara mendalam, dan 3. Kaum penengkar.
Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana tidak dapat menangkap
hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini
harus dihadapi dengan sikap memeberi nasehat dan petunjuk. Kaum pilihan yang
akalnya kuat dan mendalam dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah,
sedangkan kaum penegkar dengan sikap mematahkan argument-argumen.
3.
Moral
Adapun
teori etika yang dikembangkan oleh al-Ghozali bersifat religius dan sufi. Hal
itu terlihat dengan jelas penman al-Ghazali terhdap ilmu ini pada karya
akhirnya, setelah dia menjadi sufi, tidak lagi mempergunakan ungkapan ‘ilm
akhlaq, tetapi dengan “ilmu jalan akhirat” (ilm thariq al-akhirat) atau jalan
yang dilalui para babi dan leluhur saleh (al-salaf al shalih). Ia juga
menamakannya dengan “ilmu agama Praktis” (ilm al-mu’amalah).
Ada
tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu mempelajari akhlak
sekeadar sebagai studi murni teori=etis, yang berusaha memahami cirri
kesusilaan (moralitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku oaring yang
memepelajarinya. Kedua memepelajari akhlak sehingga akan meningkatkn sikap dan
perilakui sehari-hari, dan yang ketiga karena akhlak terutama merupakan subjek
teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral,
maka dalam pnyelidikan akhlak harus terapat kritik yang terus menerus tentang
standar moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi suatu subjek prkatis,
seakan-akan tanpa maunya sendiri. Al-Ghazali setuju demham teori yang kedua,
dia menytakan bahwa studi tentang ilmu al-mu’amalah dimaksudkan guna ltihan
kebiasaan, tujuan latihan untuk meningkatkan keadaan jiwa agar kebahagiaan
dapat dicapai di akherat[9].
4.
Jiwa
Manusia
meurut al-Ghazali diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan
jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani
yang sangat halus (latifa rabaniyah
ruhaniyyah) istilah-istilah yang digunaan al-ghazali untuk itu adalah qalb,
ruh, nafs, dan aql.
Jiwa
bagi al-Ghazali adalah suatu zat (jauhar) dan bukan suatu keadaan atau aksiden
(‘ardh), sehingga ia ada ppada dirinya sendiri. Jelasnya yang adanya bergantung
pada jiwa, dan bukan sebaliknya, jiwa berasda di alam spiritual sedangkan jasad
di alam materi. Jiwa, bagi al-Ghazali , berasal sama dengan malaikat, asal dan
sifatnya ilahiyah, ia tidak pra –eksisten, tidak berawal dengan waktu, seperti
menurut plato dan filusuf lainya. Tiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam
alas (‘alam al-arwah) pada saat benih manusia memasuki rahim dan jiwa lalu
dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah tapi jiwa tetap hidup
dantidak terpengaruh engan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya,
Bagi
al-Ghazali jiwa berasal dari ilahi mempunyai porensi kodarati (ashl
al-fithrah), yaitu kecendrungannya kepad akebaikan dan keengganan kepada
kekejian. Pada waktu lahir, ia merupakan zat yang bersih dan murni dengan
esensi malaikat (‘alam al-malakut atau ‘alam al-amr), sedangakan jasad berasal
dari alam al-khalaq. Karena itu kecendrungannya jiwa kepada kejahatan (yang
timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya. Karena itu
jiwa rindu akan alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, namaun kerap
kali diredam keinginan duniawi.
Adapun
hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah, setiap jiwa diberi
jasad, sehingga dengan bantuannya jiwa bias mendapatkan bekal bagi hidup
kekalnya. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat baginya
untuk mencari bekal dan kesempurnaan, kerena jasad sangat diperluka jiwa maka
ia harus dirawat baik-baik.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Nama lengkap
al-Ghazali adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali,beliau hidup pada
tahun 450 H di sebuah kota yang ada di Irak yaitu kota Tus Iran.
2.
Etimologi
adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat ilmu dan ilmu sebagai
proses usaha pemikiran yang sisitematik dan metodik untuk menemukan
prinsip-prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu objek kajian ilmu.
3.
Karya-karya
yang dikarangnya kurang lebih ada 300 lebih buku/kitab yang dikarangnya dari
beberapa cabang ilmu pengetahuan,dan yang paling terkenal kitabnya adalah Ihya’
Ulumuddin.
4.
Bermaksud untuk
menunjukkan kekeliruan para filosof,al-Ghazali mengarang kitab Tahafudz
al-Falashifah,yang mengindikasikan ketidak-koherensian para filosof dengan
yang sebenarnya dan untuk mematahkan pemahaman mereka yang terlalu mengidolakan
filsafat,namun tidak menyalahkan secara total.
5.
Dari beberapa
pemikiran para filosof yang dianggap salah/bid’ah,tiga diantaranya mengantarkan
mereka pada kekufuran,yaitu pertama masalah qodim-Nya alam,kedua tentang konsep
bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat
juz’i(individual/partikular),dan yang ketiga adalah konsep kebangkitan jasad di
akhirat.
6.
Menurut
al-Ghazali membantah akal sama halnya dengan mengokohkan Hadits Nabi dan
menjustifikasinya. Akal menurutnya harus tunduk dan patuh di bawah garis
al-Qur’an dan Hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Al-jauharie, Imam Khanafi. 2010. Filsafat Islam. Pekalongan : Stain Pekalongan Press
Hasyimsyah
Nasution.1999.Filsafah Islam.Jakarta : Gaya media Pratama Jakarta.
Nizar, samsul, Haji.2002.Filsafat Pendidikan
Islam pendekatan Historis, Teoritid dan Praktis.Jakarta: : Ciputra pres
[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafah Islam, (Jakarta : Gaya media
Pratama Jakarta, 1999) hlm. 77
[2] Nizar, samsul, Haji, Filsafat Pendidikan Islam pendekatan
Historis, Teoritid dan Praktis (Jakarta : Ciputra pres, 2002), hlm. 86
[3] Ibid. 78
[4] Ibid. hlm 78
[5] Nizar, Samsul, Op.Cit. hlm 86
[6] Hisyamsyah Nasution, Op.Cit. hlm. 79
[7] Ibid, hlm. 83
[8] Ibid hlm 84
[9] Ibid, hlm 87-88.
Langganan:
Postingan (Atom)
Search
Popular Posts
-
BAB I A. Latar Belakang Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia. Pendidikan sanga...
-
HADITS TENTANG PENIMBUNAN حَدَّثَنَا عَيَّاشٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى حَدَّثَنَا الْجُرَيْرِيُّ عَنْ أَبِي الْعَلَاءِ ...
-
BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Pada masa kejayaan Islam, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat, pemikir para c...
-
BAB I PEMBAHASAN A. LATAR BELAKANG Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang dis...
Recent Posts
Sample Text
Blog Archive
Pengikut
MUHAMMAD NAFIUDIN
Diberdayakan oleh Blogger.