Senin, 27 Oktober 2014

On 22.16 by Unknown   1 comment


BAB I
PEMBAHASAN
A.      LATAR BELAKANG

Ketika filsafat Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak bisa dihindarkan,  karena dari merekalah kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini, penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang pemikiranya sangat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan banyak,  mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam), tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.

B.       RUMUSAN MASALAH
A.     Bagaimana Biografi dan Apa Saja Karya Al-Ghazali?
B.     Karya-karya Al-Ghozali?
C.     Bagaimana Pemikiran Filsafat Al-Ghazali?


BAB II
PEMBAHASAN
A.      Biografi Al-Ghozali
Nama lengkap Imam Ghozali adalah Abu Hamid ibn Muhammad Ibn Ahmad al-Ghozali, digelar Hujjah Al-Islam. Ia lahir di Thus, bagian dari Kota Khurasan, Iran pada 450 H (1056 M). ayahnya tergolong yang hidup dengan sederhana sebagai pemintal benang, tetapi mempunyai semangat keagamaan yang tinggi seperti telihat pada simpatiknya kepada Ulama’, dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasihat kepada umat.[1].
 Al-Ghozali belajar fikih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad al-Radzkani di Thus, selama tiga tahun ditempat kelahirnya ini ia mengkaji ulang pelajaran di jurjan sambil belajar tasawuf kepada Yusuf al-Nassaj (w.487).
Untuk memenuhi kebutuhan intlektualnya ia kemudian hijrah ke Naisabur dan belajar dengan Imam al-Juwaini. Dengan kecerdasan dan kemauannya yang luar biasa, memeberi gelar bahrum mughriq (laut yang menenggelamkan)[2]. Dari Al-Juwaini ia memperoleh ilmu kalam dan mantiq.[3]
Setelah wafatnya al-Juwaini, al-Ghozali meninggalkan Naisabur menuju Negara Askar untuk berjumpa dengan Nizham al-Mulk.. Pada tahun 458 H (1091 M) al-Ghozali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nizhamiyah, Baghdad kurang lebih empat tahun. Selama mengajar di madrasah ini denga tekunnya al-Ghozali mendalami filsafat secara otodidak,Penguasaannya terhadap filsafat terbukti dakam karyanya, seperti Al-Maqashid al-Falsafah dan Tahafut al-Falasifah.[4]
Perkembangan intlektualitas al-Ghozali sebenarnya telah mulai kelihatan sejak ia sebagia seorang pelajar. Pada waktu itu, ia selalu menunjukkan sikap keraguannya terhadap apa-apa yang dipelajarinya. Hal tersebtu hingga ia mengajar dibaghdad.[5] Pada tahun 488 H (1095) al-Ghozali dilanda keragu-raguan, sekeptis terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (Hukum, Teologi, dan Filsafat), sehingga dia terkena penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, Al-Ghozali tidak dapat menjalankan tugas sebagai guru besar di madrasah Nizamiyah, Akhirnya ia meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus, selama kira-kira dua tahun al-Ghozali di kota ini, ia melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahdah, kemudian ia pindah ke bait al-Maqdis, palistina untuk melaksanakan ibadah serupa, setelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam Rasulullah[6]. Sepulang dari tanah suci , Al-Ghozali mengunjungi kota Kelahirnnya Thus, disini pun ia tetap ber-khalwat. Keadaan skeptis Al-Ghozali berlangsung selama 10 Tahun. Dalam periode inilah ia menulis karya terbeseranya Ihya’ ‘Ulum al-Din (The Revival of the religious Sciences--menghidupkan kembali ilmu-ilmu Agama).
Karena desakan penguasa Slajuk. Al-Ghozali mengajar kembali pada madrasah Nizhamiyah, tetapi hanya berlangsung selama dua tahun, kemudian kembali ke Thus untuk mendirikan madrasah bagi para Fuqaha, dan sebuah zawiyah atau khanaqah untuk para mutasawwifin. Di kota inilah ia wafat pada 505 H.

B.       Karya Al-Ghozali
Karya imam Ghozali diperkirakan mencapai 300 Buah, dianataranya :
a.       Maqsyit al-Falsafi (tujuan-Tujuan Para Filusuf), sebagai karangannya yang pertama berisi masalah-masalah filsafat
b.      Tahuful al-Falasifah (Kekacauan Pikiran Para Filsuf), buku ini dikarang sewaktu ia berada di Baghdad tatkala Jiwanya dilanda keragu-raguan.
c.       Mi’yar al-Ilm (Kriteria Ilmu-ilmu)
d.      Ihya ‘ulum al-Din (menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama), buku ini merupakan karyanya yang terbesar yang dikarangannya selama berapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah, yang berisi panduan antara Fikih, tasawuf, dan Filsafah.
e.       Al-Munqidz min al-Dhalal (Penyelamat dari kesesatan). Buku ini merupakn sejarah perkembangan alam pikiran al-Ghazali sendiri.
f.       Al-Ma’arif al-Aqliah (pengatuhuan yang rasional)
g.      Miskat al-Anwar
h.      Minhaj al-‘abidin (Jalan Mengabdikan Diri kepada Tuhan)
i.        Al-Iqtishad fi a-Itiqad (Moderasi dalam Akidah)



C.      Filsafat Al-Ghazali
1.      Epistimologi
Pada mulanya al-Ghazali beranggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indra. Tetapi, kemudian ternyata baginya bahwa panca indra itu berdusta. Karena tidak percaya kepada panca indara, al-Ghozali kemudian meletakkan kepercayaanna kepada akal. Tetapi, akal juga tak dapat dipercaya sewaktu bermimpi.
Dengan akal saja takafu’ al-adillah (antinomy) bisa terjadi. Seperti disebut diatas, yang dicari al-Ghozali ilm al-yaqini yang tidak mengali pertentangan dengan dirinya.
Tetapi ketika membuktikan adanya sumber pengetahuan yang lebih tinggi dari akal, ia hanya dpaat menggunakan kesimpulan hipotesis (fardhi) saja, akhirnya al-Ghazali mengalami puncak kesangsian, karena dia tidak menemukan sumber yang bisa dipercaya.
Tetapi dua bulan kemudian , dengan cara tiba-tiba Tuhan memberikan nur yang disebut oleh Al-Ghazali sebagai kunci ma’rifah kedalam hatinya. Dengan demikian, bagi al-Ghazali bahwa al-dzawq (intuisi) lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada akal untuk menagkap pengetahuan yang betul-betul diuakini kebenarannya. Suber pengetahuan tertinggi tersebut dinamakan juga al-nubuwwat, yang pada nabi bentuk Wahyu, dan pada manusia biasa berbentuk ilham.
Menurut Al-Ghazali, lapangan filsafat ada enam, yaitu matematika, logika, fisika, politik, dan metafisika. Hubungan lapangan-lapangan filsafat tersebut dengan agama tidak sama, ada yang tidak berlawanan, tetapi ada pila yang bertentangan. Al-Ghozali berpendapat bahwa agama tidak melarang ataupun memerintahkan mempelajari matematika, tetapi ilmu ini menimbulkan dua kebertan, maka boleh jadi ada orang yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula, keadaannya, termasuk dalam bidang ketuhanan. Kedua, sikap yang dari pemeluk Islam yang bodoh, yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama harus mengikari semua ilmu yang dari filsuf. Logika menurut al-Ghazali, juga tidak ada sangkutan pautnya dengan agama. Logika berisi penyelidikan tentang dalil-dalil pembuktian. Bahaya yang ditimbulkan oleh logika, karfena syarat-syarat pembuktian bisa menimbulkan keyakinan, maka syarat-syart pembuktian tersebut juga menjadi pendahuluan dalam persoalan ketuhanan (metafiksika), sedangkan sebenarnya tidak demikian.
Lebih lanjut al-Ghozali membagi filsuf kepada tiga golongan, yaitu materialis (dahriyyun), naturalis (thabi’iyyun), dan theis (illahiyyun). Kelompok pertama terdiri dari para filusuf awal, mereka menyangka penciptaan dan pengatur dunia. Dan yakin sudah ada dengan sendirinya sejak dulu. Al-Ghazali menganggap mereka tidak beragama. Naturalis mereka mengakui eksistensi suatu penciptaan bijaksanaan tetapi menyangkal kerohanian dan sofat immateriality jiwa manusia. Mereka menjelaskan perihal jiwa sebagai suatu epifenomena jasad day akin bahwa kematian jasad menyebabkan jiwa tak berwujud sama sekali. Kaum theis tergolong para filusuf lebih modern dan mencakup Socrates, plato, dan Aritoteles. Meski mereka meyerang golongan materialis dan naturalis, serta menelanjangi cacar mereka dengan efektif sekali, al-Ghazali berpendapat, kaum theis ini masih meyimpan sisa kekafiran dan paham bid’ah. Sebab itu dia menilai merkea maupun para filsuf Muslim pengikutnya, sebagai kaum kafir. Menurut pendapatnya, diantara pengikut mereka al-Farabi dan Ibnu Sina.
2.      Metafisika
Lain halnya dengan lapangan metafisika (ketuhanan), al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-Platonisme Islam, menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filusuf, mereka tidak teliti seperti halnya dalam lapangan logika dan matematika. Untuk itu al-Ghazali mengecam secara langsung dua tokoh Neo-Platonisme Muslim (Al-farabi dan Ibn Sina). Kekeliruan filsuf tersebut ada sebanyak 20 persoalan (16 dalam bidang metafisika dan 4 dalam bidang fisika). Dalam 17 soal mereka harus dinyatakan sebafai ahl al-bida’, sedangkan dalam tiga soal lainnya, mereka harus dinyatakan kafir, karena tdalam tiga soal tersebut berlwanan sama sekali dengan pendirian semua kaum muslimin.[7]
Tiga persoalan yang menyebabkan para filsuf dipandang kafir adalah :
1.      Alam Kekal (Qadim) atau abadi dalam arti tidak berawal;
2.      Tuhan tidak menghetahui perincian atau hal-hal yang particular (juziyyat) yang terjadi di alam;
3.      Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani (hasyr al-ajsad) di akhirat.[8]
Pendapat bahwa alam qadim dalam arti tidak bermula atau tidak pernah tidak ada dimasa lampau, tidak dapat diterima dalam teologi Islam. Sebab, menurut teologi Islam, Tuhan adalah pencipta. Yang dimaksud dengan pencipta sesuatu dari tiada (creation ex nihilio). Kalau alam (dalam arti segala yang ada selain tuhan) dikatakan qadin, tidak bermula, berarti alam bukanlah diciptakan, dan dengan demikian Tuhan bukan pencipta , sedangkan dalam Qur’an disebutkan bahwa Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Menurut al-Ghazali tidak ada orang islam yang menganut paham bahwa ala mini tidak bermula, alam harus hadits (bermula). Karna itu tidak mmengherankan kalau dalam teologi Islam, Syahadat la ilaha illallah bergeser menjadi la qadiima illallah. Jadi paham adanya yang qadim selain dari Tuhan, bisa membawa kepada : 1. Banyaknya yang qadim, banyak Tuhan, atau 2. Paham atheism; alam yang qadim tidak perlu pada pencipta.
Tentang ilmu tuhan, golongan filusuf berpendirian bahwa Tuhan tidak mngetahui hal-hal dan peristiwa-peristiwa kecil kecuali dengan cara yang umum (kullyat, universal). Pengetahuan universal tidaklah tunduk, seperti pengetahuan “pertilular”, kepada pembatasan-pembatasan ruang dan waktu. Karena itu Tuhan mengetahui suatu peristiwa (katakana gerhana matahari) sebelum atau sesudah kejadiannya, secara serentak, kerena ia mengetahui secar apriori rangkaian sebab-sebab dari mana ia pada akhirnya akan berhenti . dikehendaki oleh para filusuf dengan pemahman bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu secara umum (kullyah) adalah bahwa ilmu-Nya yang juga adalah zat-Nya berisifat kekal (qodim), tetap, an tidak berubah dengan perubahan yang terjadi pad objek-objek di luar zat tuhan. Hal ini dimaksudkan untuk menyucikan Tuhan dari segala sesuatu yang dapat merongrong keesaan-Nya.
Menurut Al-Ghazali ilmu Tuhan adalah suatu tambahan atau pertalian dengan zat, artinya lain dari zat, kalau terjadi perubahan pada tambahan atau sifat tambahan tersebut, zat tuhan tetap dalam keadaannya. Selanjutnya al-Ghazali menyangkal kalau perubahan ilmu dapat menimbulkan sutu perubahan pada “Zat yang mengetahui”, apakah berbilangnya ilmu juga menimbulkan bilangan pada zat Tuhan?. Di samping itu al-ghozali melandaskan pendapatnya baha Tuhan tidak mengetahu ju’iat, jelas bertentangan dengan nash ayat-ayat al-qur’an :

وَاللهُ يَعْلَمُ مَافِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الأَرْض وَاللهَ بِكُلِّ شَيْ ءٍ عَلِيْمٌ (الحجرات : 16)
Artinya : “Allah mengetahui apa yang ada dilangit dna apa yang ada dibumi, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (Qs. Al-Hujurat : 16)
Mengenai kebangkitan di akherat, para filusuf memandangnya bersifat rohaniah, dan terbebas dari kebendaan. Hal ini karena masalah kerohanian adalah lebih tinggi nilainya, sebab itu tidak ada keharusan kebangkitan yang bersifat jasmani.
Inti jawaban al-Ghozali dudasarkan atas sifat kemahakuasaan Tuhan. Bahwa Tuhan mampu menciptakan segala sesuatu dari tiada. Karena itu, ia pun mampu membangkitkan kembali tubuh dan tulang belulang manunsia yang telah hancur menjadi tanah je dakan bentuk semula. Al-Ghazali juga melandaskan pikirannya pada firman Allah SWT :

قَالَ مَنْ يُحْيِ الْعِظَامَ وَهِيَ رَمِيْمٌ . قُلْ يُحْيٍعَا الَّذِيْ أَنْشَأَهَا أَوْ لَ مَرَةٍ (يس :78 – 79 )
Ia berkata : “siapakah yang dapat menghidupakan tulang belulang yang telah hancur luluh? “katakanlah : “ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama” (QS. Yasin : 78-79).
Para filusuf dan al-Ghozali sama-sama menyakini adanya kebangkitan di akhirat. Perbedaan adalah bentuk dan bagaimana kebangkitan cara kebakitan itu. Bagi filusuf secara rohaniah, sedangkan bagi al-Ghozali secara jasmani dan rohaniah.
Disamping persoalan yang membawa kepada kekafiran diatas, al-Ghazali juga membagi manusia kepada tiga golongan yaitu 1. Kaum awam yang cara berfikirnya sederhana, 2. Kaum pilihan, yang akalnya tajam dan berifikir secara mendalam, dan 3. Kaum penengkar.
Kaum awam dengan daya akalnya yang sederhana tidak dapat menangkap hakikat-hakikat. Mereka mempunyai sifat lekas percaya dan menurut. Golongan ini harus dihadapi dengan sikap memeberi nasehat dan petunjuk. Kaum pilihan yang akalnya kuat dan mendalam dihadapi dengan sikap menjelaskan hikmah-hikmah, sedangkan kaum penegkar dengan sikap mematahkan argument-argumen.
3.      Moral
Adapun teori etika yang dikembangkan oleh al-Ghozali bersifat religius dan sufi. Hal itu terlihat dengan jelas penman al-Ghazali terhdap ilmu ini pada karya akhirnya, setelah dia menjadi sufi, tidak lagi mempergunakan ungkapan ‘ilm akhlaq, tetapi dengan “ilmu jalan akhirat” (ilm thariq al-akhirat) atau jalan yang dilalui para babi dan leluhur saleh (al-salaf al shalih). Ia juga menamakannya dengan “ilmu agama Praktis” (ilm al-mu’amalah).
Ada tiga teori penting mengenai tujuan mempelajari akhlak, yaitu mempelajari akhlak sekeadar sebagai studi murni teori=etis, yang berusaha memahami cirri kesusilaan (moralitas), tetapi tanpa maksud mempengaruhi perilaku oaring yang memepelajarinya. Kedua memepelajari akhlak sehingga akan meningkatkn sikap dan perilakui sehari-hari, dan yang ketiga karena akhlak terutama merupakan subjek teoritis yang berkenaan dengan usaha menemukan kebenaran tentang hal-hal moral, maka dalam pnyelidikan akhlak harus terapat kritik yang terus menerus tentang standar moralitas yang ada, sehingga akhlak menjadi suatu subjek prkatis, seakan-akan tanpa maunya sendiri. Al-Ghazali setuju demham teori yang kedua, dia menytakan bahwa studi tentang ilmu al-mu’amalah dimaksudkan guna ltihan kebiasaan, tujuan latihan untuk meningkatkan keadaan jiwa agar kebahagiaan dapat dicapai di akherat[9].
4.      Jiwa
Manusia meurut al-Ghazali diciptakan Allah sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa, yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual rabbani yang sangat halus  (latifa rabaniyah ruhaniyyah) istilah-istilah yang digunaan al-ghazali untuk itu adalah qalb, ruh, nafs, dan aql.
Jiwa bagi al-Ghazali adalah suatu zat (jauhar) dan bukan suatu keadaan atau aksiden (‘ardh), sehingga ia ada ppada dirinya sendiri. Jelasnya yang adanya bergantung pada jiwa, dan bukan sebaliknya, jiwa berasda di alam spiritual sedangkan jasad di alam materi. Jiwa, bagi al-Ghazali , berasal sama dengan malaikat, asal dan sifatnya ilahiyah, ia tidak pra –eksisten, tidak berawal dengan waktu, seperti menurut plato dan filusuf lainya. Tiap jiwa pribadi diciptakan Allah di alam alas (‘alam al-arwah) pada saat benih manusia memasuki rahim dan jiwa lalu dihubungkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad musnah tapi jiwa tetap hidup dantidak terpengaruh engan kematian tersebut, kecuali kehilangan wadahnya,
Bagi al-Ghazali jiwa berasal dari ilahi mempunyai porensi kodarati (ashl al-fithrah), yaitu kecendrungannya kepad akebaikan dan keengganan kepada kekejian. Pada waktu lahir, ia merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat (‘alam al-malakut atau ‘alam al-amr), sedangakan jasad berasal dari alam al-khalaq. Karena itu kecendrungannya jiwa kepada kejahatan (yang timbul setelah lahirnya nafsu) bertentangan dengan tabiat aslinya. Karena itu jiwa rindu akan alam atas dan ingin mendampingi para malaikat, namaun kerap kali diredam keinginan duniawi.
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah, setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuannya jiwa bias mendapatkan bekal bagi hidup kekalnya. Jiwa merupakan inti hakiki manusia dan jasad hanyalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan, kerena jasad sangat diperluka jiwa maka ia harus dirawat baik-baik.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1.        Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali,beliau hidup pada tahun 450 H di sebuah kota yang ada di Irak yaitu kota Tus Iran.
2.        Etimologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat ilmu dan ilmu sebagai proses usaha pemikiran yang sisitematik dan metodik untuk menemukan prinsip-prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu objek kajian ilmu.
3.        Karya-karya yang dikarangnya kurang lebih ada 300 lebih buku/kitab yang dikarangnya dari beberapa cabang ilmu pengetahuan,dan yang paling terkenal kitabnya adalah Ihya’ Ulumuddin.
4.        Bermaksud untuk menunjukkan kekeliruan para filosof,al-Ghazali mengarang kitab Tahafudz al-Falashifah,yang mengindikasikan ketidak-koherensian para filosof dengan yang sebenarnya dan untuk mematahkan pemahaman mereka yang terlalu mengidolakan filsafat,namun tidak menyalahkan secara total.
5.        Dari beberapa pemikiran para filosof yang dianggap salah/bid’ah,tiga diantaranya mengantarkan mereka pada kekufuran,yaitu pertama masalah qodim-Nya alam,kedua tentang konsep bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i(individual/partikular),dan yang ketiga adalah konsep kebangkitan jasad di akhirat.
6.        Menurut al-Ghazali membantah akal sama halnya dengan mengokohkan Hadits Nabi dan menjustifikasinya. Akal menurutnya harus tunduk dan patuh di bawah garis al-Qur’an dan Hadits.




DAFTAR PUSTAKA
Al-jauharie, Imam Khanafi. 2010. Filsafat Islam. Pekalongan : Stain Pekalongan Press
Hasyimsyah Nasution.1999.Filsafah Islam.Jakarta : Gaya media Pratama Jakarta.
Nizar, samsul, Haji.2002.Filsafat Pendidikan Islam pendekatan Historis, Teoritid dan Praktis.Jakarta: : Ciputra pres


[1] Hasyimsyah Nasution, Filsafah Islam, (Jakarta : Gaya media Pratama Jakarta, 1999) hlm. 77
[2] Nizar, samsul, Haji, Filsafat Pendidikan Islam pendekatan Historis, Teoritid dan Praktis (Jakarta : Ciputra pres, 2002), hlm. 86
[3] Ibid. 78
[4] Ibid. hlm 78
[5] Nizar, Samsul, Op.Cit. hlm 86
[6] Hisyamsyah Nasution, Op.Cit. hlm. 79
[7] Ibid, hlm. 83
[8] Ibid hlm 84
[9] Ibid, hlm 87-88.

1 komentar:

  1. ᐈ 888 Casino site for Slots, Live Games, Live Dealers
    888 Casino is an online gambling site. There is also a variety of payment methods like bank transfer, online gaming, luckyclub and even a virtual lottery.

    BalasHapus